widget

Senin, 28 April 2014

PRAGMATIK

PRAGMATIK
Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur (TT) yang terjadi di masyarakat, baik TT representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, TT langsung dan tidak langsung, maupun TT harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih TT tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Misalnya, bagaimanakah TT yang dilakukan oleh orang Jawa apabila ingin menyatakan suatu maksud tertentu, seperti ngongkon‘menyuruh’, nyilih‘meminj am’, njaluk‘memint a’, ngelem‘memuji’, janji‘berjanji’, menging ‘melarang’, dan ngapura ‘memaafkan’. Pengkajian TT tersebut tentu menjadi semakin menarik apabila peneliti mau mempertimbangkan prinsip kerja sama Grice dengan empat maksim: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara; serta skala pragmatik dan derajat kesopansantunan yang dikembangkan oleh Leech (1983).
Pragmatik dan Fungsi Bahasa
           Bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba .

PRAGMATIK VS SEMANTIK

         Sebelum dikemukakan batasan pragmatik kiranya perlu dijelaskan lebih dahulu
perbedaan antara pragmatik dengan semantik.
(a) Semantik mempelajari makna, yaitu makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik
      mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan.
(b) Kalau semantik bertanya “Apa makna X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda
     maksudkan dengan X?”
(c) Makna di dalam semantik ditentukan oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik  ditentukan oleh konteks, yakni siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana, dan apa fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan (c) ini, Kaswanti Purwo (1990: 16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent)” (bandingkan Wijana, 1996: 3). Definisi pragmatik
1. cabang ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa. Satuan-satuan lingual dalam
    penggunaannya.
2. studi kebahasaan yang terikat konteks.
3.studies meaning in relation to speech situation (Leech, 1983).
4. cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni
    bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2).
            Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1- 53), misalnya, membutuhkan 53 halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik itu dan apa saja yang menjadi cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup penting.
(1) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut.
(2) Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian
mengenai makna.
(3) Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab- sebab nonlinguistik.
(4) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi
dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
(5) Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan
aspek-aspek struktur wacana.
(6) Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi,
terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Yang jelas disepakati ialah bahwa satuan kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat, melainkan tindak tutur atau tindak ujaran (speech act).
Stephen C. Levinson telah mengumpulkan sejumlah batasan pragmatik yang berasal dari
berbagai sumber dan pakar, yang dapat dirangkum seperti berikut ini.
1.Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir (Morris,
1938:6). Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan
penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan
Contohs eman tika:
kursi                                                    tempat duduk’
signifiant (penanda)                            signifie (petanda)
Terdapat suatu prinsip:
Noam Chomsky:
Terdapat hubungan satu lawan satu antara penanda dan petanda (signifiant dan s ig n ifie).
Pragmatik:
Satu tanda bisa menyatakan bermacam-macam maksud atau bermacam-macam tanda satu
maksud.
Contoh: ’menolak’ bisa dinyatakan dengan
-Ora duwe dhuwit.
-Omahku sepi kok.
·
Tuturan semakin panjang tuturan semakin sopan, semakin pendek tidak sopan. 
Contoh:Lunga! (tidak sopan) danLungaa! (lebih sopan)



MENGENAL PRAGMATIK

Oleh: Muh. Munip

            Linguistik berarti ilmu bahasa. Sebagai ilmu bahasa, linguistik memiliki berbagai cabang ilmu. Cabang-cabang itu di antaranya: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk-beluk bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa, sedangkan semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal.
           Berbeda dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur bahasa secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Mengenai definisi pragmatik, perhatikan dialog di bawah ini:
(1) Reni : Berapa nilai mata kuliah menulismu, man?
     Rahman : Ya .. lumayan, dapat B.
     Reni : Bagus kamu Man, aku hanya dapat C.
     Rahman : Tapi, Ajeng dapat A.
     Reni : Biasa Man, dia khan mahasiswi yang pintar.
Bandingkan penggunaan kata bercetak miring pada dialog di atas dengan yang ada dalam dialog berikut!
(2) Reni : Berapa nilai mata kuliah menulismu, Man?
     Rahman : Malu aku Ren, aku diberi nilai D oleh Pak Imron.
     Reni : Bagus kamu Man, itulah hasilnya kalau kamu tidak pernah masuk.
     Rahman : Tapi, Ajeng dapat E.
     Reni : pantas, dia khan mahasiswi yang pintar.

            Secara eksternal, bila dilihat dan penggunaannya, kata bagus ternyata tidak selalu bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’, seperti yang tampak pada dialog (1) di atas. Akan tetapi, apabila diperhatikan penggunaan kata bagus pada dialog (2) yang berbunyi “Bagus kamu Man, itulah hasilnya kalau kamu tidak pernah masuk” memiliki makna sebaliknya, yaitu buruk atau jelek, yang berfungsi sebagai bentuk sindiran. Begitu pula makna kata “pintar” pada dialog (1) memiliki makna yang bertentangan pada dialog (2). Pada dialog (1), kata pintar bermakana pandai atau cakap, tetapi pada dialog (2) bermakna sebaliknya, yaitu bodoh.   Dari uraian di atas jelas bahwa makna yang ditelaah oleh semantik adalah makna apa adanya, tanpa memperhatikan siapa penutur, siapa mitra tutur, kapan dan di mana tuturan itu terjadi, sedangkan makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang memperhatikan hal-hal tersebut. Dengan demikian, meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik. Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa dalam memaknai sebuah tuturan.
          Semantik bersifat bebas konteks (contect independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent) (Purwo, 1990, 16). Yang dimaksud dengan konteks di sini adalah konteks linguistik dan konteks nonlinguistik. Konteks linguistik, seperti kalimat yang sebelumnya mendahului, disebut pula koteks, sedangkan konteks nonlinguistik, seperti siapa yang berbicara, siapa yang diajak berbicara, kapan terjadinya pembicaraan, dan di mana terjadinya pembicaraan, disebut dengan konteks. Apabila diamati lebih jauh, makna yang menjadi kajian semantik adalah makna linguistik (linguistic meaning), sedangkan yang dikaji oleh pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning) (Verhaar, 1977; Parker, 1986, 32). Dengan kata lain, Makna yang dikaji oleh semantik bersifat diadis. Makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat Apa makna x itu? Makna yang ditelaah oleh pragmatis bersifat triadis. Makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat Apakah yang kau maksud dengan berkata x itu? Dengan demikian, pragmatik adalah studi tentang maksud penutur (Yule, 2006:3).
           Pendapat yang agak berbeda tentang pragmatik disampaikan oleh Morris (1938). Pragmatik sebagai suatu kajian ilmu muncul dari pandangan Morris tentang semiotik, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda atau lambang. Morris membagi semiotik ke dalam tiga cabang ilmu, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya, semantik mempelajari hubungan antara lambang dengan objeknya, dan pragmatik mempelajari hubungan antara lambang dengan penafsirnya.
        Yule (2006) juga menyampaikan secara gamblang perbedaan antara ketiga cabang semiotika tersebut. Dikatakan bahwa sintaksis adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam suatu urutan (kalimat). Semantik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (kata) dengan sesuatu secara harfiah, sedangkan pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk linguistik (tuturan) dengan si pemakai bentuk tersebut. Dengan demikian, pragmatik selalu menghubungkan makna bentuk linguistik dengan pemakainya (penutur).
         Definisi pragmatik lainnya dikemukakan oleh beberapa ahli dengan redaksi yang berbeda. Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatik merupakan disiplin ilmu yang mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara orang menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan. Yang dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri, yaitu penutur. Cara seorang petinju yang menganggap lawannya tidak bisa lagi melawan dengan menggunakan tanda bahasa habis. Tanda bahasa ini akan digunakan berbeda oleh seorang agen minyak tanah, yaitu untuk menggambarkan bahwa minyak tanahnya sudah ludes terjual.
        Menurut Leech (1993:8), pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan tempat. Yule (1996: 3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna penutur; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu, sedangkan Levinson (1987:1) mengatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara lambang dengan penafsirannya.
            Thomas (1995:2) mendefinisikan pragmatik dengan menggunakan sudut pandang sosial dan sudut pandang kognitif. Dengan sudut pandang sosial, Thomas menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, pragmatik dihubungkan dengan interpretasi tuturan (utterance interpretation). Pemaknaan tuturan dalam pragmatik merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks tuturan (fisik, sosial, dan linguistik), dan makna potensial yang mungkin dari sebuah tuturan tuturan. Pragmatik sebagai bidang linguistik yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
         Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan konteks bahasa dan konteks nonbahasa. Konteks ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana.