PRAGMATIK
Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi
dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh”
orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat
deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik
lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda
dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan
analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna
satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau
makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada
ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya
ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai
akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat
adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur (TT) yang terjadi di
masyarakat, baik TT representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan
deklaratif, TT langsung dan tidak langsung, maupun TT harafiah dan tidak
harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih TT tersebut, merupakan bahan sekaligus
fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Misalnya, bagaimanakah
TT yang dilakukan oleh orang Jawa apabila ingin menyatakan suatu maksud
tertentu, seperti ngongkon‘menyuruh’, nyilih‘meminj am’, njaluk‘memint a’,
ngelem‘memuji’, janji‘berjanji’, menging ‘melarang’, dan ngapura ‘memaafkan’.
Pengkajian TT tersebut tentu menjadi semakin menarik apabila peneliti mau
mempertimbangkan prinsip kerja sama Grice dengan empat maksim: kuantitas,
kualitas, hubungan, dan cara; serta skala pragmatik dan derajat kesopansantunan
yang dikembangkan oleh Leech (1983).
Pragmatik dan Fungsi Bahasa
Bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini
mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang
ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau
strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme
daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang
dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7), pragmatik adalah kajian mengenai
penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian
ini mencoba .
PRAGMATIK VS SEMANTIK
Sebelum
dikemukakan batasan pragmatik kiranya perlu dijelaskan lebih dahulu
perbedaan antara pragmatik dengan semantik.
(a) Semantik mempelajari makna, yaitu makna kata dan makna
kalimat, sedangkan pragmatik
mempelajari maksud ujaran,
yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan.
(b) Kalau semantik bertanya “Apa makna X?” maka pragmatik
bertanya “Apa yang Anda
maksudkan dengan X?”
(c) Makna di dalam semantik ditentukan oleh koteks, sedangkan
makna di dalam pragmatik ditentukan oleh konteks, yakni siapa yang
berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana, dan apa fungsi ujaran
itu. Berkaitan dengan perbedaan (c) ini, Kaswanti Purwo (1990: 16) merumuskan
secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context independent),
sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent)” (bandingkan
Wijana, 1996: 3). Definisi pragmatik
1. cabang ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa.
Satuan-satuan lingual dalam
penggunaannya.
2. studi kebahasaan yang terikat konteks.
3.studies meaning in relation to speech situation (Leech, 1983).
4. cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal, yakni
bagaimana satuan kebahasaan digunakan
dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2).
Cukup
banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1-
53), misalnya, membutuhkan 53 halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik
itu dan apa saja yang menjadi cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di
antaranya yang dianggap cukup penting.
(1) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda
(lambang) dengan penafsirnya, sedangkan semantik adalah kajian mengenai
hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut.
(2) Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa,
sedangkan semantik adalah kajian
mengenai makna.
(3) Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional,
artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan
mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab- sebab nonlinguistik.
(4) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa
dengan konteks yang menjadi
dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
(5) Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur,
praanggapan, tindak tutur, dan
aspek-aspek struktur wacana.
(6) Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai
untuk berkomunikasi,
terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi
pemakaiannya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami
bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas sehingga sering dianggap tumpang
tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Yang jelas disepakati
ialah bahwa satuan kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat, melainkan
tindak tutur atau tindak ujaran (speech act).
Stephen C. Levinson telah mengumpulkan sejumlah batasan
pragmatik yang berasal dari
berbagai sumber dan pakar, yang dapat dirangkum seperti berikut
ini.
1.Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan
penafsir (Morris,
1938:6). Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para
pembicara dan
penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah
tanda kalimat dengan
Contohs eman tika:
kursi tempat
duduk’
signifiant (penanda) signifie
(petanda)
Terdapat suatu prinsip:
Noam Chomsky:
Terdapat hubungan satu lawan satu antara penanda dan petanda
(signifiant dan s ig n ifie).
Pragmatik:
Satu tanda bisa menyatakan bermacam-macam maksud atau
bermacam-macam tanda satu
maksud.
Contoh: ’menolak’ bisa dinyatakan dengan
-Ora duwe dhuwit.
-Omahku sepi kok.
·
Tuturan semakin panjang tuturan semakin sopan, semakin pendek
tidak sopan.
Contoh:Lunga! (tidak sopan) danLungaa!
(lebih sopan)
MENGENAL PRAGMATIK
Oleh: Muh. Munip
Oleh: Muh. Munip
Linguistik berarti ilmu bahasa. Sebagai ilmu bahasa, linguistik memiliki berbagai cabang ilmu. Cabang-cabang itu di antaranya: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk-beluk bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal. Sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa, sedangkan semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal.
Berbeda
dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur
bahasa secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu
digunakan di dalam komunikasi. Mengenai definisi pragmatik, perhatikan dialog
di bawah ini:
(1) Reni : Berapa
nilai mata kuliah menulismu, man?
Rahman : Ya .. lumayan, dapat B.
Reni : Bagus kamu Man, aku hanya dapat C.
Rahman : Tapi, Ajeng dapat A.
Reni : Biasa Man, dia khan mahasiswi yang pintar.
Bandingkan penggunaan kata bercetak miring pada dialog di atas dengan yang ada dalam dialog berikut!
(2) Reni : Berapa nilai mata kuliah menulismu, Man?
Rahman : Malu aku Ren, aku diberi nilai D oleh Pak Imron.
Reni : Bagus kamu Man, itulah hasilnya kalau kamu tidak pernah masuk.
Rahman : Tapi, Ajeng dapat E.
Reni : pantas, dia khan mahasiswi yang pintar.
Rahman : Ya .. lumayan, dapat B.
Reni : Bagus kamu Man, aku hanya dapat C.
Rahman : Tapi, Ajeng dapat A.
Reni : Biasa Man, dia khan mahasiswi yang pintar.
Bandingkan penggunaan kata bercetak miring pada dialog di atas dengan yang ada dalam dialog berikut!
(2) Reni : Berapa nilai mata kuliah menulismu, Man?
Rahman : Malu aku Ren, aku diberi nilai D oleh Pak Imron.
Reni : Bagus kamu Man, itulah hasilnya kalau kamu tidak pernah masuk.
Rahman : Tapi, Ajeng dapat E.
Reni : pantas, dia khan mahasiswi yang pintar.
Secara eksternal, bila dilihat dan penggunaannya, kata bagus ternyata tidak selalu bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’, seperti yang tampak pada dialog (1) di atas. Akan tetapi, apabila diperhatikan penggunaan kata bagus pada dialog (2) yang berbunyi “Bagus kamu Man, itulah hasilnya kalau kamu tidak pernah masuk” memiliki makna sebaliknya, yaitu buruk atau jelek, yang berfungsi sebagai bentuk sindiran. Begitu pula makna kata “pintar” pada dialog (1) memiliki makna yang bertentangan pada dialog (2). Pada dialog (1), kata pintar bermakana pandai atau cakap, tetapi pada dialog (2) bermakna sebaliknya, yaitu bodoh. Dari uraian di atas jelas bahwa makna yang ditelaah oleh semantik adalah makna apa adanya, tanpa memperhatikan siapa penutur, siapa mitra tutur, kapan dan di mana tuturan itu terjadi, sedangkan makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang memperhatikan hal-hal tersebut. Dengan demikian, meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik. Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa dalam memaknai sebuah tuturan.
Semantik
bersifat bebas konteks (contect independent), sedangkan pragmatik
bersifat terikat konteks (context dependent) (Purwo, 1990,
16). Yang dimaksud dengan konteks di sini adalah konteks linguistik dan konteks
nonlinguistik. Konteks linguistik, seperti kalimat yang sebelumnya mendahului,
disebut pula koteks, sedangkan konteks nonlinguistik, seperti siapa yang
berbicara, siapa yang diajak berbicara, kapan terjadinya pembicaraan, dan di
mana terjadinya pembicaraan, disebut dengan konteks. Apabila diamati lebih
jauh, makna yang menjadi kajian semantik adalah makna linguistik (linguistic
meaning), sedangkan yang dikaji oleh pragmatik adalah maksud penutur (speaker
meaning) (Verhaar, 1977; Parker, 1986, 32). Dengan kata lain, Makna
yang dikaji oleh semantik bersifat diadis. Makna itu dapat dirumuskan dengan
kalimat Apa makna x itu? Makna yang ditelaah oleh pragmatis bersifat triadis.
Makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat Apakah yang kau maksud dengan berkata
x itu? Dengan demikian, pragmatik adalah studi tentang maksud penutur (Yule,
2006:3).
Pendapat
yang agak berbeda tentang pragmatik disampaikan oleh Morris (1938). Pragmatik
sebagai suatu kajian ilmu muncul dari pandangan Morris tentang semiotik, yaitu
ilmu yang mempelajari sistem tanda atau lambang. Morris membagi semiotik ke
dalam tiga cabang ilmu, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis
mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya, semantik
mempelajari hubungan antara lambang dengan objeknya, dan pragmatik mempelajari
hubungan antara lambang dengan penafsirnya.
Yule (2006) juga
menyampaikan secara gamblang perbedaan antara ketiga cabang semiotika tersebut.
Dikatakan bahwa sintaksis adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk
kebahasaan itu dalam suatu urutan (kalimat). Semantik adalah studi tentang
hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (kata) dengan sesuatu secara harfiah,
sedangkan pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk linguistik
(tuturan) dengan si pemakai bentuk tersebut. Dengan demikian, pragmatik selalu
menghubungkan makna bentuk linguistik dengan pemakainya (penutur).
Definisi
pragmatik lainnya dikemukakan oleh beberapa ahli dengan redaksi yang berbeda.
Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatik merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara
orang menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan.
Yang dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri,
yaitu penutur. Cara seorang petinju yang menganggap lawannya tidak bisa lagi
melawan dengan menggunakan tanda bahasa habis. Tanda bahasa ini akan digunakan
berbeda oleh seorang agen minyak tanah, yaitu untuk menggambarkan bahwa minyak
tanahnya sudah ludes terjual.
Menurut Leech
(1993:8), pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan
situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi
unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan,
waktu, dan tempat. Yule (1996: 3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu
(1) bidang yang mengkaji makna penutur; (2) bidang yang mengkaji makna menurut
konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan,
mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
(4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi
partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu, sedangkan Levinson (1987:1)
mengatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara lambang
dengan penafsirannya.
Thomas (1995:2) mendefinisikan pragmatik dengan menggunakan sudut pandang sosial dan sudut pandang kognitif. Dengan sudut pandang sosial, Thomas menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, pragmatik dihubungkan dengan interpretasi tuturan (utterance interpretation). Pemaknaan tuturan dalam pragmatik merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks tuturan (fisik, sosial, dan linguistik), dan makna potensial yang mungkin dari sebuah tuturan tuturan. Pragmatik sebagai bidang linguistik yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Thomas (1995:2) mendefinisikan pragmatik dengan menggunakan sudut pandang sosial dan sudut pandang kognitif. Dengan sudut pandang sosial, Thomas menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, pragmatik dihubungkan dengan interpretasi tuturan (utterance interpretation). Pemaknaan tuturan dalam pragmatik merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks tuturan (fisik, sosial, dan linguistik), dan makna potensial yang mungkin dari sebuah tuturan tuturan. Pragmatik sebagai bidang linguistik yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Dari
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang
ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur
yang dihubungkan dengan konteks bahasa dan konteks nonbahasa. Konteks ini
sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah
wacana.